1. Apa itu Citizen Journalism (CJ) / Jurnalisme Warga (JW)?
Kemajuan teknologi komunikasi dan
juga keterbukaan serta kebebasan berekspresi di dunia mendorong lahirnya
individu-individu yang memiliki ketrampilan di dalam jurnalistik dan penggunaan
teknologi informasi untuk mengangkat berbagai berita kejadian di sekitar
mereka. Tidak jelas kapan dimulai tumbuhnya individu-individu tersebut. Namun
kuat dugaan mereka lahir dari praktik-praktik yang mereka lakukan sebagai
penyeimbang berita-berita yang disampaikan oleh media arus utama.
Merekapun dibekali oleh
kemampuan-kemampuan standar untuk dapat melakukan laksana wartawan yang sedang
meliput berita. Namun umumnya dari mereka adalah bekerja secara invidu dan
bergerak secara voluntarisme.
Berikut beberapa definisi dari jurnalisme
warga diantaranya, yaitu:
1)
Shane Boyman dan Chris Willis
Aktivitas warga yang memainkan peranan aktif dalam mengumpulkan,
menganalisis, melaporkan dan menyebarkan berita kepada masyarakat luas.
2) Pandan Yudhapramesti dalam tulisannya di Citizen Journalism (CJ)
Sebagai Media Pemberdayaan Warga. Majalah Observasi. Vol 5. no. 1, menyatakan
bahwa jurnalisme warga adalah jurnalisme orang biasa, tanpa memandang latar belakang pendidikan dan
keahliannya, seseorang dapat merencanakan, menggali, mengolah dan
mempresentasikan informasi berupa tulisan, gambar, foto, laporan lisan, video
dan lainnya dalam Jurnalistik Warga.
3)
Wikipedia,
Jurnalisme warga (bahasa Inggris: citizen journalism) adalah
kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan oleh masyarakat dalam
kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan berita. Tipe jurnalisme seperti
ini akan menjadi paradigma dan tren baru tentang bagaimana pembaca atau pemirsa
membentuk informasi dan berita pada masa mendatang.
Paling tidak ada dua hal menarik yang dapat diambil dari penjelasan
diatas yakni pertama adalah partisipasi warga didalam membuat berita dan yang
kedua konten yang dihasilkan yang merupakan konten dengan isu publik (publik
interest). Partisipasi warga dapat bermula dari hal apa saja. Dari apa yang
dirasakan tentang sesuatu kondisi di dalam lingkungannya atau respon saat
mengalami atau berada didekat satu situasi tertentu. Konten yang dibuat adalah
konten yang menurut mereka penting untuk disampaikan kepada publik, karena ada
ketertarikan publik di sana. Konten yang mereka hasilkan, belum tentu dapat
diangkat oleh media arus utama atau untuk melengkapi konten yang sudah ada.
2. Siapa Jurnalis Warga?
Secara singkat, rumusan mengenai
jurnalisme warga itu: sebuah proses pengumpulan data, penulisan, penyuntingan,
dan penyebarluasan informasi oleh warga secara mandiri, nonprofit, merupakan ekspresi
jati diri reporter maupun kebudayaan masyarakat sekitar. Praktik
penyelenggaraan jurnalisme warga tidak dikendalikan pihak manapun sehingga
mereka memperoleh kebebasan penuh dan sangat independen.
Jadi, intinya siapapun, kapanpun
dan dimanapun dapat melakukan peliputan dan melaporkan hasil liputannya (berupa
tulisan, audio maupun audio visual) melalui media yang ada, baik media arus
utama maupun media sosial, seperti: situs, blog, facebook, twitter, YouTube,
dan sebagainya.
3. Kriteria Calon Jurnalis Warga
Luwi Ishwara (Jurnalisme Dasar,
Penerbit Buku Kompas, Januari 2011) menuliskan ada tiga syarat kerja bagi
wartawan. Ketiga hal ini pun, menurut penulis, penting dan dapat dilakukan pula
oleh para JW. Ketiga syarat itu adalah:
1)
Tahu yang Menarik
Dalam
mengumpulkan informasi yang sahih dan relevan untuk suatu berita, calon JW
harus tahu apa yang menarik bagi publik dan menemukan topik dengan sudut
pandang unik. Tinggal lagi mereka harus jeli dalam menggali informasi saat di
lapangan dan ketika mewawancarai sumber-sumber berita terkait dengan topik yang
dipilihnya itu.
2) Selalu Ingin Tahu
Rasa
keingintahuan yang tinggi akan sangat membantu calon JW dalam penggalian data
dan fakta untuk disusun sebagai sebuah berita. Ini bisa dimulai dengan
mengajukan beberapa pertanyaan yang ada dalam 5W1H (What/ Apa, Who/ Siapa,
Where/ Dimana, When/ Kapan, Why/ Mengapa dan How/ Bagaimana), sebab mereka
tidak dapat menjelaskan suatu peristiwa selain mereka mengerti kisah dibalik
sebuah peristiwa itu. Dan mereka bisa mengerti, tidak lain dengan mencari dan
menggali jawaban-jawabannya.
3) Mampu Observasi
Kekuatan pengamatan yang terlatih amat berguna bagi calon JW dalam
menghasilkan berita yang lengkap, bercerita (story telling) dan menarik.
Observasi yang kuat adalah dengan memaksimalkan penggunaan indera mereka:
penglihatan, pendengaran, penciuman, dan terkadang juga dengan rasa dan sentuhan.
Jika keterampilan mengobservasi ini telah mereka miliki maka sekurangnya 30
persen bagian untuk menghasilkan berita yang baik sudah dipenuhi syaratnya (20
persen untuk kegiatan riset awal dan 50 persen sisanya untuk proses wawancara).
4. Istilah Jurnalisme Warga
Public journalism, advocacy journalism, participatory
journalism, participatory media, open source reporting, distributed journalism,
citizens media, grassroot journalism, sampai we-media.
Ada 9 alternatif nama
untuk Jurnalisme Warga (Citizen Journalism) sebagaimana dikemukakan Mark Glaser
di Mediashift:
1)
Grassroots journalism. Jurnalisme Akar Rumput
2)
Networked journalism. Jurnalisme Berjejaring.
3)
Open source journalism. Jurnalisme Sumber Terbuka.
4)
Citizen media. Media Warga.
5)
Participatory journalism. Jurnalisme Partisipasi.
6)
Hyperlocal journalism. Jurnalisme Sangat Lokal.
7)
Bottom-up journalism. Jurnalisme Bawah-ke-Atas.
8)
Stand-alone journalism. Jurnalisme Mandiri.
9)
Distributed journalism. Jurnalisme Terdistribusi.
5. Dasar-dasar
Jurnalisme Warga
Jurnalistik adalah proses penulisan dan penyebarluasan berita
(news). Karenanya, dasar pengetahuan dan keterampilan (knowledge and
skill) jurnalisme warga adalah pemahaman dan kemahiran menulis berita.
Dari dasar keterampilan menulis berita ini nanti berkembang
dengan kemampuan menulis karya jurnalistik lainnya, seperi feature, artikel
opini, foto jurnalistik, lalu jurnalistik penyiaran (broadcast journalism alias
jurnalistik radio dan televisi).
Jurnalis warga, dengan demikian, mesti mengusai ilmu jurnalistik dasar ini
(penulisan berita), meliputi, antara
lain:
1)
Pengertian berita
2)
Nilai berita (news
values)
3)
Unsur-Unsur
Berita (5W+1H)
4)
Struktur naskah
berita
5)
Bahasa
Jurnalistik/Bahasa Media
6)
Etika penulisan
berita (kode etik jurnalistik).
Selain itu, ada sejumlah prinsip dasar jurnalisme warga yang
harus diperhatikan. Seperti dikutip Bighow Guide dalam "Citizen Journalism
Basics", salah satu tokoh terkemuka
pendukung CJ, Dan Gillmor dan JD Lasica
mengemukakan lima prinsip dasar jurnalisme warga (five basic principles
of Citizen Journalism):
1)
Accuracy.
Akurasi, ketepatan.
2)
Thoroughness.
Kecermatan, ketelitian.
3)
Transparency.
Transparansi, keterbukaan dalam peliputan berita.
4)
Fairness.
Kejujuran
5)
Independence.
Independensi, tidak berpihak dan tidak terikat oleh kelompok mana pun.
Meski
hanya jurnalisme warga, berita yang dibuat mestilah akurat dari segi penulisan
(redaksi) dan konten (isi, substansi, fakta, data). Karenanya, jurnalis warga
memerlukan verifikasi atau cek-ricek data.
6.
Kategori JW/CJ
Gillmor, penulis buku We the Media: Grassroots
Journalism by the People for he People (2006) yang juga mantan kolumnis teknologi di San Jose Mercury News, mengatakan, abad ke 21 ini akan
menjadi tantangan berat bagi media massa konvensional atas lahirnya jurnalisme
baru yang sangat berbeda dengan jurnalisme terdahulu. Kelahiran citizen
journalism diperkuat oleh kekecewaan warga akan pemberitaan di mainstream media
yang sarat kepentingan politik dan ekonomi. Agenda setting yang ditetapkan
mainstream media, seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan warga.
maka ketika teknologi internet muncul, warga memiliki aternatif cara untuk
mencapatkan informasi sekaligus bereaksi atas informasi yang ia terima. Makin
banyaknya pengguna internet membuat citizen journalism berkembang pesat.
Gilmor mengatakan CJ bukanlah konsep sderhana yang dapat
diaplikasikan secara sederhana pada seluruh organisasi pemberitaan. CJ memiliki
konsep yang kompleks dengan beragam variasi. JD Lasica, senior editor Online Journalism Review mengatakan, ada 6 kategori jurnalisme partisipasi, yaitu:
1)
Partisipasi khalayak dalam mainstream media
Di Indonesia praktik-praktik seperti ini juga telah banyak dilakukan
baik di media cetak (surat kabar maupun majalah), media elektronik (radio
maupun televise) serta media online. partisipasi ini dapat berbentuk: komentar
khalayak (media online biasanya menyediakan ruang untuk berkomentar berdampingan
dengan beritanya, radio dan tlevisi biasa menyediakan acara talkshow untuk
memberikan kesempatan khalayak menyampaikan komentar); forum diskusi
pembaca/khalayak; kolom artikel; juga termasuk foto, video, laporan yang
dikirim oleh khalayak; serta bentuk-bentuk kontribusi khalayak lainnya.
2) Berita independen dan situs yang berisi informasi (weblog individual maupun situs dengan tema khusus, misalnya situs
yang menyediakan berita kota).
3) Situs dengan partisipasi penuh,
di mana hampir semua beritanya diproduksi oleh reporter warga (citizen
reporters), seperti OhmyNews di Korea Selatan atau panyingkul (http://www.panyingkul.com)
di Makasar Sulawesi Selatan.
4)
Collaborate and Contributory media sites, situs media kolaboratif (Slashdot, Kuro5hin)
5)
Media kecil lainnya, termasuk
milis, email newsletter, dan media digital lainnya.
6)
Situs penyiaran personal, yang
memublikasikan penyiaran radio maupun TV.
Sementara Steve Outing,
senior editor pada The Poynter Institute
for Media Studies, mengklasifikasikan
CJ ke dalam 11 kategori:
1) CJ yang membuka ruang untuk komentar publik, di mana pembaca atau khalayak bisa bereaksi, memuji, mengkritik,
atau menambahkan jenis ini bisa kita kenal sebagai ruang surat pembaca.
2)
Menambahkan pendapat masyarakat sebagai bagian dari artikel yang
ditulis. Warga diminta untuk ikut
menuliskan pengalamannya, pada sebuah topik utama liputan yang dilaporkan
jurnalis.
3) Kolaborasi antara jurnalis porfesional dengan nonjurnalis yang memiliki kemampuan dalam materi yang dibahas, sebagai bantuan
dalam mengarahkan atau memeriksa keakuratan artikel. Terkadang professional
nonjurnalis ini dapat juga menjadi contributor tunggal yang menghasilkan
artikel tersebut.
4) Bloghouse warga. Melalui
blog, orang bisa berbagi cerita tentang dunia, dan bisa menceritakan dunia
berdasarkan pengalaman dan sudut pandangnya.
5) Newsroom
citizen transparency blogs, merupakan
blog yang disediakan sebuah organisasi media sebagai upaya transparansi, di
mana pembaca bisa memasukkan keluhan, kritik, atau pujian atas pekerjaan media
tersebut.
1)
Stand-alone
CJ sites, yang melalui proses editing.
Sumbangan laporan dari warga, biasanya tentang hal-hal yang sifatnya sangat
lokal yang dialami langsung oleh warga. Editor berperan untuk menjaga kualitas
laporan, dan mendidik warga (kontributor) tentang topik-topik yang menarik dan
layak untuk dilaporkan.
2)
Stand-alone
CJ sites, yang tidak melalui proses editing.
3)
Gabungan stand-alone CJ journalism website dan edisi cetak.
4) Hybrid: Pro+CJ. suatu kerja
organisasi media yang menggabungkan pekerjaan jurnalis professional dengan
journalis warga. Situs OhmyNews, Radio Elshinta, atau Radio Mara FM bandung
termasuk ke dalam kategori ini. dalam OhmyNews, kontribusi berita tidak
otomatis diterima sebagai sebuah berita. Editor berperan dalam menilai dan
memilih berita yang akan diangkat ke halaman utama.
5) Penggabungan antara jurnalis professional dan jurnalis warga dalam
satu atap, di mana website membeli tulisan
dari jurnalis professional dan menerima tulisan jurnalis warga.
6)
Model Wiki, di mana
pembaca adalah juga edior. setiap orang bisa menulis artikel dan setiap orang
bisa memberi tambahan atau komentar yang terbit.
7. Sejarah Jurnalisme Warga
Jurnalisme warga atau citizen
journalism mulai berkembang di seluruh dunia sejak kehadiran internet
di seluruh dunia. Perkembangan terbesar di bidang komunikasi 40 tahun terakhir
adalah penemuan dan pertumbuhan internet. Lahirnya komunikasi interaktif
ditandai dengan terjadinya diversifikasi teknologi informasi dengan
bergabungnya telepon, radio, komputer, dan televisi menjadi satu, dan menandai
teknologi yang disebut dengan internet. Teknologi yang tergolong baru ini
membuat sekat antarmanusia semakin tak terlihat seberapa pun jauhnya jarak yang
memisahkan. Dalam dunia internet semua hal bisa diperoleh hanya dalamone
click way.
Sejarah dan perkembangan citizen
journalism di dunia sebenarnya telah berlangsung lama, sekitar dua
dekade belakangan. Nicholas Lemann, profesor di Columbia University Graduate
School of Journalism, New York City, Amerika Serikat, mencatat, kelahiran
jurnalisme publik dimulai melalui gerakan pada Pemilu 1988. Saat itu publik mengalami
erosi kepercayaan terhadap media-mediamainstream seputar pemilihan
presiden AS.
Ada dua hal setidaknya yang memunculkan corak
citizen journalism seperti sekarang ini. Pertama, komitmen pada suara-suara
publik. Kedua, kemajuan teknologi yang mengubah lansekap modus komunikasi.
Sejarah citizen journalismsendiri bisa dilacak sejak konsep public
journalism dilontarkan oleh beberapa penggagas, seperti Jay Rozen, Pew
Research Center, dan Poynter Institute. Bersama Wichita News, Eagle, Kansas,
para penggagas citizen journalismmencobakan konsep public
journalism dengan membentuk panel diskusi bagi publik guna
mengidentifikasi isu-isu yang dianggap penting bagi publik. (communicare.com, 1
Desember 2007)
Jay Rozen, seorang profesor bidang jurnalistik
di New York University (NYU), adalah salah satu pelopor pertama citizen
journalism atau jurnalisme publik. Sejak tahun 1993 hingga 1997,
dia memimpin Proyek dalam Kehidupan Publik dan Pers, berdasarkan Knight
Foundation di NYU. Dia juga yang menjalankan Press Think weblog.
Bill Gates pernah meramalkan bahwa
digitalisasi dalam bidang komunikasi dan informasi pada tahun 1990 akan
mematikan surat kabar. Kehadiran situs-situs berita di pertengahan tahun
1990-an dikhawatirkan bisa menjadi ancaman seluruh media massa konvensional,
seperti surat kabar, radio, maupun televisi. Akan tetapi, dalam hal kecepatan
menyampaikan informasi, konon seluruh jenis media massa terancam oleh
kehadiran mailing list atau blog.
Media internet sendiri, sebagai suatu media
baru, pada gilirannya juga telah menghadirkan sekian banyak bentuk jurnalisme
yang sebelumnya tidak kita kenal. Salah satunya adalah kemunculan “jurnalisme
warga”.
Citizen journalism tumbuh subur di di Amerika Serikat dalam waktu
enam tahun terakhir yang antara lain dipelopori oleh sejumlah wartawan veteran
dan sekolah jurnalistik yang ingin mengeksplorasi partisipasi masyarakat dalam
ekosistem media massa. Model jurnalisme ini memiliki banyak nama di berbagai
belahan dunia. Antara lain, netizen, partisipatory journalism, dan grassroot
journalism.
Kemunculan jurnalisme warga di Indonesia
bermula pada masa Orde Baru, saat Soeharto berkuasa, di mana pada saat itu arus
informasi dari media massa kepada masyarakat dijaga ketat oleh pemerintah dan
aparatnya. Masa Orde Baru yang dikenal dengan sistem pers tertutupnya, memaksa
pers untuk lebih mengedepankan agenda kebijakan, khususnya kebijakan eksekutif.
Pers lebih banyak memberitakan kebijakan pemerintah. Dominannya penggunaan
sumber berita eksekutif menjadikan pemberitaan pers menjadi top down.
Citizen journalism sebagai praktik jurnalisme ala warga,
telah lebih dulu hadir dalam media yang lebih tua seperti radio. Citizen
journalism dicirikan dengan partisipasi aktif masyarakat dalam proses
lahirnya berita. akarnya adalah community based media. Citizen
journalism pada radio komunitas adalah journalisme ala warga yang bisa
jadi lebih “terjangkau” bagi kebanyakan orang Indonesia.
Di Indonesia, jurnalisme ala warga telah hadir
dalam keseharian melalui acara-acara talkshow di radio khususnya sejak awal
tahun 90-an. Karena dilarang pemerintah menyiarkan program siaran berita,
beberapa stasiun radio mengusung format siaran informasi. Pada program
siarannya, stasiun radio tersebut (diantaranya adalah Radio Mara 106,7 FM di
Bandung yang menjadi pionir siaran seperti ini) menyiarkan acara talkshow yang
mengajak pendengar untuk aktif berpartisipasi melalui telepon untuk
menyampaikan informasi maupun pendapat tentang sebuah topik hangat. Pada masa
orde baru acara siaran tersebut efektif menjadi saluran khalayak menyampaikan
keluhan terhadap kelemahan atau kezaliman penguasa.
Setelah UU Penyiaran No.32 Tahun
2002, kehadiran community based media di bidang penyiaran pun akhirnya
terakomodasi. kehadiran radio dan televisi komunitas menjadi legal. legalitas
ini membuat peluang jurnalisme ala warga menjadi semakin terbuka. melalui radio
atau televise komunitas, warga bisa bertukar informasi atau pendapat, tentang
hal-hal terdekat dengan keseharian mereka, yang biasanya luput diliput oleh
media-media besar. Pada radio siaran, biaya peralatan, operasional siaran dan
pesawat penerima yang relative murah—bahkan sangat murah bila dibandingkan
operasional tv atau akses ke internet—peluang jurnalisme ala warga menjadi
semakin besar untuk bisa dilakukan oleh lebih banyak orang termasuk di
pedesaan.
Sejumlah mailing list menjadi
pelarian warga yang mampu mengakses internet akibat media massa konvensional
saat itu tidak ada yang berani mengkritik rezim. Kehadiran blog ini
baru dianggap sebagai ancaman karena sifat interaktifnya, yang tidak mungkin
dilakukan media massa konvensional.
8. Pakem-Pakem
dalam Jurnalisme Warga
Meski citizen journalist memiliki
kebebasan dalam menyampaikan informasi, namun dia membawa ruang hukum
komunikasi massa atau hukum informasi atau hukum pers yang berlaku di
Indonesia. Jadi dia dibebani oleh itu. Menjaga informasi bukan urusan
jurnalistik. Pun di media massa tidak ada kata “menjaga”. Menjaga
informasi—mana yang harus disiarkan atau tidak—sudah bukan ranah jurnalistik
Indonesia karena sudah ada batasan-batasan hukum. Bahkan di Indonesia, hukum
pers bukan dibebani oleh hukum pers semata, tapi hukum-hukum lain.
Undang-undang dan KUHP berisi pasal-pasal yang sebenarnya membebani pers.
Johnny Tarigan, Kepala Biro Antara Bandung
berpendapat, “Proses pendewasaan masyarakat di sana, tinggal bagaimana
masyarakat mengantisipasi dan menerima mencerna mana yang bagus mana yang
tidak bagus karena sama seperti informasi yang beredar sekarang ini ada 100
persen benar, ada 100 persen mempengaruhi, ada juga persentase yang
kadang-kadang kurang baik dicerna masyarakat jadi tergantung kesiapan
masyarakat menerima itu.”
Prinsip
dasar citizen journalism adalah :
v Pewarta (reporternya) adalah pembaca, khalayak
ramai, siapapun yang mempunyai informasi atas sesuatu,
v Siapa pun dapat memberikan komentar, koreksi,
klarifikasi atas berita yang diterbitkan,
v Biasanya non-profit oriented,
v Masih didominasi oleh media-media online,
v Memiliki komunitas-komunitas yang sering
melakukan gathering,
v Walaupun ada kritik, tidak ada persaingan
antarpenulis (reporter),
v Tidak membedakan pewarta profesional atau
amatir,
v Tidak ada seleksi ketat terhadap
berita-beritanya,
v Ada yang dikelola secara profesional ada pula
yang dikelola secara amatir,
v pembaca dapat langsung berinteraksi dengan
penulisnya melalui kotak komentar atau e-mail.
Blogger
senior dan praktisi komunikasi Wimar Witoelar pernah mengungkapkan, blog boleh
dibilang bersifat komunal. Di dunia blog, transparansi dan akuntabilitas
menjadi kata kunci. Seorang penulis blog tidak lagi dianggap yang paling tahu.
Pendapat-pendapatnya bisa dikritisi oleh siapa pun lantaran sifat blog yang
transparan. Inilah paradigma baru dari blog. Melalui blog akan tercipta citizen
journalism, di mana setiap orang bebas berpendapat.
Karena
itu, menjadi citizen journalist juga ada etikanya. Etika citizen
journalismkurang lebih sama dengan etika menulis di media online. Di
antaranya sebagai berikut:
v Tidak menyebarkan berita bohong
v Tidak mencemarkan nama baik
v Tidak memicu konflik SARA
v Tidak memuat konten pornografi
9. Citizen journalism: Isu dan Implikasi
Kemajuan teknologi (komunikasi) dapat mengubah lansekap atau ruang-ruang
sosial kita. Perkembangan citizen journalism belakangan ini menakjubkan karena
mengundang sejumlah implikasi yang tidak kecil. Beberapa di antaranya adalah sebagai
berikut:
1) Open source reporting: perubahan modus pengumpulan berita. Wartawan tidak menjadi
satu-satunya pengumpul informasi. Tetapi, wartawan dalam konteks tertentu juga
harus ‘bersaing’ dengan khalayak, yang menyediakan firsthand reporting dari lapangan.
2) Perubahan modus pengelolaan
berita. Tidak hanya mengandalkan open source reporting,
media kini tidak lagi menjadi satu-satunya pengelola berita, tetapi juga harus
bersaing dengan situs-situs pribadi yang didirikan oleh warga demi kepentingan publik
sebagai pelaku citizen journalism.
3) Mengaburnya batas produsen dan
konsumen berita. Media yang lazimnya memosisikan diri sebagai produsen berita,
kini juga menjadi konsumen berita dengan mengutip berita-berita dari
situs-situs warga. Demikian pula sebaliknya. Khalayak yang lazimnya diposisikan
sebagai konsumen berita, dalam lingkup citizen journalism menjadi produsen berita yang content-nya diakses pula oleh
media-media mainstream.
4) Poin 1-2-3 memperlihatkan khalayak
sebagai partisipan aktif dalam memproduksi, mengkreasi, mau pun mendiseminasi
berita dan informasi. Pada gilirannya faktor ini memunculkan ‘a new balance of power’—distribusi kekuasaan yang
baru. Ancaman power yang baru (kalau mau disebut sebagai ancaman) bagi institusi
pers bukan berasal dari pemerintah dan ideologi, atau sesama kompetitor, tetapi
dari khalayak atau konsumen yang biasanya mereka layani!
5) Isu profesionalisme: apakah setiap
pelaku citizen journalism bisa disebut wartawan? Kenyataannya, citizen journalism mengangkat
slogan everybody could be a
journalist! Apakah blogger bisa disebut sebagai the real journalist?
6) Isu etika: apakah setiap pelaku citizen journalism perlu
mematuhi standar-standar jurnalisme yang berlaku di kalangan wartawan selama
ini sehingga produknya bisa disebut sebagai karya jurnalistik? Kita bicara soal
kaidah jurnalistik yang selama ini diajarkan pada para wartawan—mungkinkah
kaidah itu masih berlaku? Lazimnya, yang acap disentuh dalam wacana kaidah
jurnalistik adalah soal objektivitas pemberitaan, dan kredibilitas
wartawan/media.
7) Isu regulasi: perlukah adanya
regulasi bagi pelaku citizen journalism?
Kaitannya dengan etika, profesionalisme, komersialiasi, dan mutu content.
8) Isu ekonomi: munculnya situs-situs
pelaku citizen journalism yang ramai dikunjungi menimbulkan
konsekuensi ekonomi, yaitu pemasang iklan, yang jumlahnya tidak sedikit. Pers,
menurut Jay Rosen pada dasarnya adalah media franchise atau public service franchise in
journalism.
9) Kalau citizen media kini muncul
dan juga bermain dalam ranah komersial, ini hanya merupakan konsekuensi ‘the enlarging of media
franchise’. Isu ekonomi juga mengundang perdebatan lain. Kalau
tadinya para kontributor citizen journalism memasukkan
beritanya secara sukarela, kini mulai muncul perbincangan bagaimana seharusnya
membayar mereka.
Ada bayaran, tentu ada standar
yang harus dipatuhi sesuai bayarannya. Akhirnya, ini mengundang masuknya isu
profesionalisme—sesuatu yang dalam konteks tertentu akhirnya malah ‘berlawanan’
dengan semangat citizen journalism.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar