Minggu, 01 November 2015

Citizen Journalism / Jurnalisme Warga

1.  Apa itu Citizen Journalism (CJ) / Jurnalisme Warga (JW)?
Kemajuan teknologi komunikasi dan juga keterbukaan serta kebebasan berekspresi di dunia mendorong lahirnya individu-individu yang memiliki ketrampilan di dalam jurnalistik dan penggunaan teknologi informasi untuk mengangkat berbagai berita kejadian di sekitar mereka. Tidak jelas kapan dimulai tumbuhnya individu-individu tersebut. Namun kuat dugaan mereka lahir dari praktik-praktik yang mereka lakukan sebagai penyeimbang berita-berita yang disampaikan oleh media arus utama.
Merekapun dibekali oleh kemampuan-kemampuan standar untuk dapat melakukan laksana wartawan yang sedang meliput berita. Namun umumnya dari mereka adalah bekerja secara invidu dan bergerak secara voluntarisme.
Berikut beberapa definisi dari jurnalisme warga diantaranya, yaitu:
1)        Shane Boyman dan Chris Willis
Aktivitas warga yang memainkan peranan aktif dalam mengumpulkan, menganalisis, melaporkan dan menyebarkan berita kepada masyarakat luas.
2)  Pandan Yudhapramesti dalam tulisannya di Citizen Journalism (CJ) Sebagai Media Pemberdayaan Warga. Majalah Observasi. Vol 5. no. 1, menyatakan bahwa jurnalisme warga adalah jurnalisme orang biasa,  tanpa memandang latar belakang pendidikan dan keahliannya, seseorang dapat merencanakan, menggali, mengolah dan mempresentasikan informasi berupa tulisan, gambar, foto, laporan lisan, video dan lainnya dalam Jurnalistik Warga.
3)        Wikipedia, Jurnalisme warga (bahasa Inggris: citizen journalism) adalah kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan oleh masyarakat dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan berita. Tipe jurnalisme seperti ini akan menjadi paradigma dan tren baru tentang bagaimana pembaca atau pemirsa membentuk informasi dan berita pada masa mendatang.
Paling tidak ada dua hal menarik yang dapat diambil dari penjelasan diatas yakni pertama adalah partisipasi warga didalam membuat berita dan yang kedua konten yang dihasilkan yang merupakan konten dengan isu publik (publik interest). Partisipasi warga dapat bermula dari hal apa saja. Dari apa yang dirasakan tentang sesuatu kondisi di dalam lingkungannya atau respon saat mengalami atau berada didekat satu situasi tertentu. Konten yang dibuat adalah konten yang menurut mereka penting untuk disampaikan kepada publik, karena ada ketertarikan publik di sana. Konten yang mereka hasilkan, belum tentu dapat diangkat oleh media arus utama atau untuk melengkapi konten yang sudah ada.

2.  Siapa Jurnalis Warga?
Secara singkat, rumusan mengenai jurnalisme warga itu: sebuah proses pengumpulan data, penulisan, penyuntingan, dan penyebarluasan informasi oleh warga secara mandiri, nonprofit, merupakan ekspresi jati diri reporter maupun kebudayaan masyarakat sekitar. Praktik penyelenggaraan jurnalisme warga tidak dikendalikan pihak manapun sehingga mereka memperoleh kebebasan penuh dan sangat independen.
Jadi, intinya siapapun, kapanpun dan dimanapun dapat melakukan peliputan dan melaporkan hasil liputannya (berupa tulisan, audio maupun audio visual) melalui media yang ada, baik media arus utama maupun media sosial, seperti: situs, blog, facebook, twitter, YouTube, dan sebagainya.

3.  Kriteria Calon Jurnalis Warga
Luwi Ishwara (Jurnalisme Dasar, Penerbit Buku Kompas, Januari 2011) menuliskan ada tiga syarat kerja bagi wartawan. Ketiga hal ini pun, menurut penulis, penting dan dapat dilakukan pula oleh para JW. Ketiga syarat itu adalah:
1)          Tahu yang Menarik
  Dalam mengumpulkan informasi yang sahih dan relevan untuk suatu berita, calon JW harus tahu apa yang menarik bagi publik dan menemukan topik dengan sudut pandang unik. Tinggal lagi mereka harus jeli dalam menggali informasi saat di lapangan dan ketika mewawancarai sumber-sumber berita terkait dengan topik yang dipilihnya itu.
2)     Selalu Ingin Tahu
  Rasa keingintahuan yang tinggi akan sangat membantu calon JW dalam penggalian data dan fakta untuk disusun sebagai sebuah berita. Ini bisa dimulai dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang ada dalam 5W1H (What/ Apa, Who/ Siapa, Where/ Dimana, When/ Kapan, Why/ Mengapa dan How/ Bagaimana), sebab mereka tidak dapat menjelaskan suatu peristiwa selain mereka mengerti kisah dibalik sebuah peristiwa itu. Dan mereka bisa mengerti, tidak lain dengan mencari dan menggali jawaban-jawabannya.
3)  Mampu Observasi
  Kekuatan pengamatan yang terlatih amat berguna bagi calon JW dalam menghasilkan berita yang lengkap, bercerita (story telling) dan menarik. Observasi yang kuat adalah dengan memaksimalkan penggunaan indera mereka: penglihatan, pendengaran, penciuman, dan terkadang juga dengan rasa dan sentuhan. Jika keterampilan mengobservasi ini telah mereka miliki maka sekurangnya 30 persen bagian untuk menghasilkan berita yang baik sudah dipenuhi syaratnya (20 persen untuk kegiatan riset awal dan 50 persen sisanya untuk proses wawancara).

4. Istilah Jurnalisme Warga
Public journalism, advocacy journalism, participatory journalism, participatory media, open source reporting, distributed journalism, citizens media, grassroot journalism, sampai we-media. Ada 9 alternatif nama untuk Jurnalisme Warga (Citizen Journalism) sebagaimana dikemukakan Mark Glaser di Mediashift:
1)      Grassroots journalism. Jurnalisme Akar Rumput
2)      Networked journalism. Jurnalisme Berjejaring.
3)      Open source journalism. Jurnalisme Sumber Terbuka.
4)      Citizen media. Media Warga.
5)      Participatory journalism. Jurnalisme Partisipasi.
6)      Hyperlocal journalism. Jurnalisme Sangat Lokal.
7)      Bottom-up journalism. Jurnalisme Bawah-ke-Atas.
8)      Stand-alone journalism. Jurnalisme Mandiri.
9)      Distributed journalism. Jurnalisme Terdistribusi.
5. Dasar-dasar Jurnalisme Warga
Jurnalistik adalah proses penulisan dan penyebarluasan berita (news). Karenanya, dasar pengetahuan dan keterampilan (knowledge and skill) jurnalisme warga adalah pemahaman dan kemahiran menulis berita.
Dari dasar keterampilan menulis berita ini nanti berkembang dengan kemampuan menulis karya jurnalistik lainnya, seperi feature, artikel opini, foto jurnalistik, lalu jurnalistik penyiaran (broadcast journalism alias jurnalistik radio dan televisi).
Jurnalis warga, dengan demikian, mesti mengusai ilmu jurnalistik dasar ini (penulisan berita), meliputi, antara lain:
1)      Pengertian berita
2)      Nilai berita (news values)
3)      Unsur-Unsur Berita (5W+1H)
4)      Struktur naskah berita
5)      Bahasa Jurnalistik/Bahasa Media
6)      Etika penulisan berita (kode etik jurnalistik).
Selain itu, ada sejumlah prinsip dasar jurnalisme warga yang harus diperhatikan. Seperti dikutip Bighow Guide dalam "Citizen Journalism Basics", salah satu tokoh terkemuka pendukung CJ, Dan Gillmor dan JD Lasica mengemukakan lima prinsip dasar jurnalisme warga (five basic principles of Citizen Journalism):
1)      Accuracy. Akurasi, ketepatan.
2)      Thoroughness. Kecermatan, ketelitian.
3)      Transparency. Transparansi, keterbukaan dalam peliputan berita.
4)      Fairness. Kejujuran
5)      Independence. Independensi, tidak berpihak dan tidak terikat oleh kelompok mana pun.
Meski hanya jurnalisme warga, berita yang dibuat mestilah akurat dari segi penulisan (redaksi) dan konten (isi, substansi, fakta, data). Karenanya, jurnalis warga memerlukan verifikasi atau cek-ricek data.

6. Kategori JW/CJ
Gillmor, penulis buku We the Media: Grassroots Journalism by the People for he People (2006) yang juga mantan kolumnis teknologi di San Jose Mercury News, mengatakan, abad ke 21 ini akan menjadi tantangan berat bagi media massa konvensional atas lahirnya jurnalisme baru yang sangat berbeda dengan jurnalisme terdahulu. Kelahiran citizen journalism diperkuat oleh kekecewaan warga akan pemberitaan di mainstream media yang sarat kepentingan politik dan ekonomi. Agenda setting yang ditetapkan mainstream media, seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan warga. maka ketika teknologi internet muncul, warga memiliki aternatif cara untuk mencapatkan informasi sekaligus bereaksi atas informasi yang ia terima. Makin banyaknya pengguna internet membuat citizen journalism berkembang pesat.
Gilmor mengatakan CJ bukanlah konsep sderhana yang dapat diaplikasikan secara sederhana pada seluruh organisasi pemberitaan. CJ memiliki konsep yang kompleks dengan beragam variasi. JD Lasica, senior editor Online Journalism Review mengatakan, ada 6 kategori jurnalisme partisipasi, yaitu:
1)        Partisipasi khalayak dalam mainstream media
Di Indonesia praktik-praktik seperti ini juga telah banyak dilakukan baik di media cetak (surat kabar maupun majalah), media elektronik (radio maupun televise) serta media online. partisipasi ini dapat berbentuk: komentar khalayak (media online biasanya menyediakan ruang untuk berkomentar berdampingan dengan beritanya, radio dan tlevisi biasa menyediakan acara talkshow untuk memberikan kesempatan khalayak menyampaikan komentar); forum diskusi pembaca/khalayak; kolom artikel; juga termasuk foto, video, laporan yang dikirim oleh khalayak; serta bentuk-bentuk kontribusi khalayak lainnya.
2)      Berita independen dan situs yang berisi informasi (weblog individual maupun situs dengan tema khusus, misalnya situs yang menyediakan berita kota).
3)      Situs dengan partisipasi penuh, di mana hampir semua beritanya diproduksi oleh reporter warga (citizen reporters), seperti OhmyNews di Korea Selatan atau panyingkul (http://www.panyingkul.com) di Makasar Sulawesi Selatan.
4)        Collaborate and Contributory media sites, situs media kolaboratif (Slashdot, Kuro5hin)
5)        Media kecil lainnya, termasuk milis, email newsletter, dan media digital lainnya.
6)        Situs penyiaran personal, yang memublikasikan penyiaran radio maupun TV.

Sementara Steve Outing, senior editor pada The Poynter Institute for Media Studies, mengklasifikasikan CJ ke dalam 11 kategori:
1)       CJ yang membuka ruang untuk komentar publik, di mana pembaca atau khalayak bisa bereaksi, memuji, mengkritik, atau menambahkan jenis ini bisa kita kenal sebagai ruang surat pembaca.
2)        Menambahkan pendapat masyarakat sebagai bagian dari artikel yang ditulis. Warga diminta untuk ikut menuliskan pengalamannya, pada sebuah topik utama liputan yang dilaporkan jurnalis.
3)       Kolaborasi antara jurnalis porfesional dengan nonjurnalis yang memiliki kemampuan dalam materi yang dibahas, sebagai bantuan dalam mengarahkan atau memeriksa keakuratan artikel. Terkadang professional nonjurnalis ini dapat juga menjadi contributor tunggal yang menghasilkan artikel tersebut.
4)      Bloghouse warga. Melalui blog, orang bisa berbagi cerita tentang dunia, dan bisa menceritakan dunia berdasarkan pengalaman dan sudut pandangnya.
5)      Newsroom citizen transparency blogs, merupakan blog yang disediakan sebuah organisasi media sebagai upaya transparansi, di mana pembaca bisa memasukkan keluhan, kritik, atau pujian atas pekerjaan media tersebut.
1)        Stand-alone CJ sites, yang melalui proses editing. Sumbangan laporan dari warga, biasanya tentang hal-hal yang sifatnya sangat lokal yang dialami langsung oleh warga. Editor berperan untuk menjaga kualitas laporan, dan mendidik warga (kontributor) tentang topik-topik yang menarik dan layak untuk dilaporkan.
2)        Stand-alone CJ sites, yang tidak melalui proses editing.
3)        Gabungan stand-alone CJ journalism website dan edisi cetak.
4)    Hybrid: Pro+CJ. suatu kerja organisasi media yang menggabungkan pekerjaan jurnalis professional dengan journalis warga. Situs OhmyNews, Radio Elshinta, atau Radio Mara FM bandung termasuk ke dalam kategori ini. dalam OhmyNews, kontribusi berita tidak otomatis diterima sebagai sebuah berita. Editor berperan dalam menilai dan memilih berita yang akan diangkat ke halaman utama.
5)   Penggabungan antara jurnalis professional dan jurnalis warga dalam satu atap, di mana website membeli tulisan dari jurnalis professional dan menerima tulisan jurnalis warga.
6)        Model Wiki, di mana pembaca adalah juga edior. setiap orang bisa menulis artikel dan setiap orang bisa memberi tambahan atau komentar yang terbit.
7.  Sejarah Jurnalisme Warga
Jurnalisme warga atau citizen journalism mulai berkembang di seluruh dunia sejak kehadiran internet di seluruh dunia. Perkembangan terbesar di bidang komunikasi 40 tahun terakhir adalah penemuan dan pertumbuhan internet. Lahirnya komunikasi interaktif ditandai dengan terjadinya diversifikasi teknologi informasi dengan bergabungnya telepon, radio, komputer, dan televisi menjadi satu, dan menandai teknologi yang disebut dengan internet. Teknologi yang tergolong baru ini membuat sekat antarmanusia semakin tak terlihat seberapa pun jauhnya jarak yang memisahkan. Dalam dunia internet semua hal bisa diperoleh hanya dalamone click way.
Sejarah dan perkembangan citizen journalism di dunia sebenarnya telah berlangsung lama, sekitar dua dekade belakangan. Nicholas Lemann, profesor di Columbia University Graduate School of Journalism, New York City, Amerika Serikat, mencatat, kelahiran jurnalisme publik dimulai melalui gerakan pada Pemilu 1988. Saat itu publik mengalami erosi kepercayaan terhadap media-mediamainstream seputar pemilihan presiden AS.
Ada dua hal setidaknya yang memunculkan corak citizen journalism seperti sekarang ini. Pertama, komitmen pada suara-suara publik. Kedua, kemajuan teknologi yang mengubah lansekap modus komunikasi. Sejarah citizen journalismsendiri bisa dilacak sejak konsep public journalism dilontarkan oleh beberapa penggagas, seperti Jay Rozen, Pew Research Center, dan Poynter Institute. Bersama Wichita News, Eagle, Kansas, para penggagas citizen journalismmencobakan konsep public journalism dengan membentuk panel diskusi bagi publik guna mengidentifikasi isu-isu yang dianggap penting bagi publik. (communicare.com, 1 Desember 2007)
Jay Rozen, seorang profesor bidang jurnalistik di New York University (NYU), adalah salah satu pelopor pertama citizen journalism atau  jurnalisme publik. Sejak tahun 1993 hingga 1997, dia memimpin Proyek dalam Kehidupan Publik dan Pers, berdasarkan Knight Foundation di NYU. Dia juga yang menjalankan Press Think weblog.
Bill Gates pernah meramalkan bahwa digitalisasi dalam bidang komunikasi dan informasi pada tahun 1990 akan mematikan surat kabar. Kehadiran situs-situs berita di pertengahan tahun 1990-an dikhawatirkan bisa menjadi ancaman seluruh media massa konvensional, seperti surat kabar, radio, maupun televisi. Akan tetapi, dalam hal kecepatan menyampaikan informasi, konon seluruh jenis media massa terancam oleh kehadiran mailing list atau blog.
Media internet sendiri, sebagai suatu media baru, pada gilirannya juga telah menghadirkan sekian banyak bentuk jurnalisme yang sebelumnya tidak kita kenal. Salah satunya adalah kemunculan “jurnalisme warga”.
Citizen journalism tumbuh subur di di Amerika Serikat dalam waktu enam tahun terakhir yang antara lain dipelopori oleh sejumlah wartawan veteran dan sekolah jurnalistik yang ingin mengeksplorasi partisipasi masyarakat dalam ekosistem media massa. Model jurnalisme ini memiliki banyak nama di berbagai belahan dunia. Antara lain, netizen, partisipatory journalism, dan grassroot journalism.
Kemunculan jurnalisme warga di Indonesia bermula pada masa Orde Baru, saat Soeharto berkuasa, di mana pada saat itu arus informasi dari media massa kepada masyarakat dijaga ketat oleh pemerintah dan aparatnya. Masa Orde Baru yang dikenal dengan sistem pers tertutupnya, memaksa pers untuk lebih mengedepankan agenda kebijakan, khususnya kebijakan eksekutif. Pers lebih banyak memberitakan kebijakan pemerintah. Dominannya penggunaan sumber berita eksekutif menjadikan pemberitaan pers menjadi top down.
Citizen journalism sebagai praktik jurnalisme ala warga, telah lebih dulu hadir dalam media yang lebih tua seperti radio. Citizen journalism dicirikan dengan partisipasi aktif masyarakat dalam proses lahirnya berita. akarnya adalah community based media. Citizen journalism pada radio komunitas adalah journalisme ala warga yang bisa jadi lebih “terjangkau” bagi kebanyakan orang Indonesia.
Di Indonesia, jurnalisme ala warga telah hadir dalam keseharian melalui acara-acara talkshow di radio khususnya sejak awal tahun 90-an. Karena dilarang pemerintah menyiarkan program siaran berita, beberapa stasiun radio mengusung format siaran informasi. Pada program siarannya, stasiun radio tersebut (diantaranya adalah Radio Mara 106,7 FM di Bandung yang menjadi pionir siaran seperti ini) menyiarkan acara talkshow yang mengajak pendengar untuk aktif berpartisipasi melalui telepon untuk menyampaikan informasi maupun pendapat tentang sebuah topik hangat. Pada masa orde baru acara siaran tersebut efektif menjadi saluran khalayak menyampaikan keluhan terhadap kelemahan atau kezaliman penguasa.
Setelah UU Penyiaran No.32 Tahun 2002, kehadiran community based media di bidang penyiaran pun akhirnya terakomodasi. kehadiran radio dan televisi komunitas menjadi legal. legalitas ini membuat peluang jurnalisme ala warga menjadi semakin terbuka. melalui radio atau televise komunitas, warga bisa bertukar informasi atau pendapat, tentang hal-hal terdekat dengan keseharian mereka, yang biasanya luput diliput oleh media-media besar. Pada radio siaran, biaya peralatan, operasional siaran dan pesawat penerima yang relative murah—bahkan sangat murah bila dibandingkan operasional tv atau akses ke internet—peluang jurnalisme ala warga menjadi semakin besar untuk bisa dilakukan oleh lebih banyak orang termasuk di pedesaan.
Sejumlah mailing list menjadi pelarian warga yang mampu mengakses internet akibat media massa konvensional saat itu tidak ada yang berani mengkritik rezim. Kehadiran blog ini baru dianggap sebagai ancaman karena sifat interaktifnya, yang tidak mungkin dilakukan media massa konvensional.
8.  Pakem-Pakem dalam Jurnalisme Warga
Meski citizen journalist memiliki kebebasan dalam menyampaikan informasi, namun dia membawa ruang hukum komunikasi massa atau hukum informasi atau hukum pers yang berlaku di Indonesia. Jadi dia dibebani oleh itu. Menjaga informasi bukan urusan jurnalistik. Pun di media massa tidak ada kata “menjaga”. Menjaga informasi—mana yang harus disiarkan atau tidak—sudah bukan ranah jurnalistik Indonesia karena sudah ada batasan-batasan hukum. Bahkan di Indonesia, hukum pers bukan dibebani oleh hukum pers semata, tapi hukum-hukum lain. Undang-undang dan KUHP berisi pasal-pasal yang sebenarnya membebani pers.
Johnny Tarigan, Kepala Biro Antara Bandung berpendapat, “Proses pendewasaan masyarakat di sana, tinggal bagaimana masyarakat  mengantisipasi dan menerima mencerna mana yang bagus mana yang tidak bagus karena sama seperti informasi yang beredar sekarang ini ada 100 persen benar, ada 100 persen mempengaruhi, ada juga persentase yang kadang-kadang kurang baik dicerna masyarakat jadi tergantung kesiapan masyarakat menerima itu.”
Prinsip dasar citizen journalism adalah :
v Pewarta (reporternya) adalah pembaca, khalayak ramai, siapapun yang mempunyai informasi atas sesuatu,
v Siapa pun dapat memberikan komentar, koreksi, klarifikasi atas berita yang diterbitkan,
v Biasanya non-profit oriented,
v Masih didominasi oleh media-media online,
v Memiliki komunitas-komunitas yang sering melakukan gathering,
v Walaupun ada kritik, tidak ada persaingan antarpenulis (reporter),
v Tidak membedakan pewarta profesional atau amatir,
v Tidak ada seleksi ketat terhadap berita-beritanya,
v Ada yang dikelola secara profesional ada pula yang dikelola secara amatir,
v pembaca dapat langsung berinteraksi dengan penulisnya melalui kotak komentar atau e-mail.
Blogger senior dan praktisi komunikasi Wimar Witoelar pernah mengungkapkan, blog boleh dibilang bersifat komunal. Di dunia blog, transparansi dan akuntabilitas menjadi kata kunci. Seorang penulis blog tidak lagi dianggap yang paling tahu. Pendapat-pendapatnya bisa dikritisi oleh siapa pun lantaran sifat blog yang transparan. Inilah paradigma baru dari blog. Melalui blog akan tercipta citizen journalism, di mana setiap orang bebas berpendapat.
Karena itu, menjadi citizen journalist juga ada etikanya. Etika citizen journalismkurang lebih sama dengan etika menulis di media online. Di antaranya sebagai berikut:
v Tidak menyebarkan berita bohong
v Tidak mencemarkan nama baik
v Tidak memicu konflik SARA
v Tidak memuat konten pornografi

9.  Citizen journalism: Isu dan Implikasi
Kemajuan teknologi (komunikasi) dapat mengubah lansekap atau ruang-ruang sosial kita. Perkembangan citizen journalism belakangan ini menakjubkan karena mengundang sejumlah implikasi yang tidak kecil. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1)     Open source reporting: perubahan modus pengumpulan berita. Wartawan tidak menjadi satu-satunya pengumpul informasi. Tetapi, wartawan dalam konteks tertentu juga harus ‘bersaing’ dengan khalayak, yang menyediakan firsthand reporting dari lapangan.
2)      Perubahan modus pengelolaan berita. Tidak hanya mengandalkan open source reporting, media kini tidak lagi menjadi satu-satunya pengelola berita, tetapi juga harus bersaing dengan situs-situs pribadi yang didirikan oleh warga demi kepentingan publik sebagai pelaku citizen journalism.
3)   Mengaburnya batas produsen dan konsumen berita. Media yang lazimnya memosisikan diri sebagai produsen berita, kini juga menjadi konsumen berita dengan mengutip berita-berita dari situs-situs warga. Demikian pula sebaliknya. Khalayak yang lazimnya diposisikan sebagai konsumen berita, dalam lingkup citizen journalism menjadi produsen berita yang content-nya diakses pula oleh media-media mainstream. 
4)    Poin 1-2-3 memperlihatkan khalayak sebagai partisipan aktif dalam memproduksi, mengkreasi, mau pun mendiseminasi berita dan informasi. Pada gilirannya faktor ini memunculkan ‘a new balance of power’—distribusi kekuasaan yang baru. Ancaman power yang baru (kalau mau disebut sebagai ancaman) bagi institusi pers bukan berasal dari pemerintah dan ideologi, atau sesama kompetitor, tetapi dari khalayak atau konsumen yang biasanya mereka layani!
5)   Isu profesionalisme: apakah setiap pelaku citizen journalism bisa disebut wartawan? Kenyataannya, citizen journalism mengangkat slogan everybody could be a journalist! Apakah blogger bisa disebut sebagai the real journalist?
6)    Isu etika: apakah setiap pelaku citizen journalism perlu mematuhi standar-standar jurnalisme yang berlaku di kalangan wartawan selama ini sehingga produknya bisa disebut sebagai karya jurnalistik? Kita bicara soal kaidah jurnalistik yang selama ini diajarkan pada para wartawan—mungkinkah kaidah itu masih berlaku? Lazimnya, yang acap disentuh dalam wacana kaidah jurnalistik adalah soal objektivitas pemberitaan, dan kredibilitas wartawan/media.
7)  Isu regulasi: perlukah adanya regulasi bagi pelaku citizen journalism? Kaitannya dengan etika, profesionalisme, komersialiasi, dan mutu content.
8)   Isu ekonomi: munculnya situs-situs pelaku citizen journalism yang ramai dikunjungi menimbulkan konsekuensi ekonomi, yaitu pemasang iklan, yang jumlahnya tidak sedikit. Pers, menurut Jay Rosen pada dasarnya adalah media franchise atau public service franchise in journalism.
9)   Kalau citizen media kini muncul dan juga bermain dalam ranah komersial, ini hanya merupakan konsekuensi ‘the enlarging of media franchise’. Isu ekonomi juga mengundang perdebatan lain. Kalau tadinya para kontributor citizen journalism memasukkan beritanya secara sukarela, kini mulai muncul perbincangan bagaimana seharusnya membayar mereka.
Ada bayaran, tentu ada standar yang harus dipatuhi sesuai bayarannya. Akhirnya, ini mengundang masuknya isu profesionalisme—sesuatu yang dalam konteks tertentu akhirnya malah ‘berlawanan’ dengan semangat citizen journalism.
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar