Mata
Kuliah Cyber Media
ANALISIS
PASAL
DALAM
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
11 TAHUN 2008
TENTANG
INFORMASI
DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Disusun
Oleh :
Tina
Apriliana 132050044
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Ilmu Komunikasi-A
UNIVERSITAS
PASUNDAN
2015
UU
ITE yang diberlakukan sejak April 2008 lalu ini memang merupakan terobosan bagi
dunia hukum di Indonesia, karena untuk pertama kalinya dunia maya di Indonesia
mempunyai perangkat. Karena sifatnya yang berisi aturan main di dunia maya, UU
ITE ini juga dikenal sebagai Cyber Law. Sebagaimana layaknya Cyber Law di
negara-negara lain, UU ITE ini juga bersifat ekstraterritorial. Cyber Law
merupakan suatu sistem hukum yang dianggap relevan untuk mengatur aktivitas e-Commerce,
mengingat sifat-sifat dari e-Commerce yang tidak dapat diatur dengan
menggunakan hukum konvensional.
UU
ITE yang terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal mencakup materi
mengenai Informasi dan Dokumen Elektronik; Pengiriman
dan Penerimaan Surat Elektronik; Tanda Tangan Elektronik;
Sertifikat Elektronik; Penyelenggaraan Sistem
Elektronik; Transaksi Elektronik; Hak Atas kekayaan
Intelektual; dan Perlindungan Data Pribadi atau Privasi.
Dan dalam perkembangannya, UU ITE yang
rancangannya sudah masuk dalam agenda DPR sejak hampir sepuluh tahun yang lalu,
terus mengalami penambahan disana-sini, termasuk perlindungan dari serangan
hacker, pelarangan penayangan content yang memuat unsur-unsur pornografi,
pelanggaran kesusilaan, pencemaran nama baik, penghinaan dan lain sebagainya.
Terdapat sekitar 11 pasal yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang
dilarang dalam UU ITE, yang mencakup hampir 22 jenis perbuatan yang dilarang.
Dari 11 Pasal tersebut ada 3 pasal yang dicurigai akan membahayakan blogger,
pasal-pasal yang mengatur larangan-larangan tertentu di dunia maya, yang bisa
saja dilakukan oleh seorang blogger tanpa dia sadari. Pasal-Pasal tersebut
adalah Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2), serta Pasal 45 ayat (1)
dan (2).
Analisis Pasal
1.
Pasal
2
“Undang-Undang
ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun
di luar
wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia
dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia
dan merugikan kepentingan Indonesia.”
Seperti
yang telah disebutkan di atas, bahwa UU ITE ini menganut asas
ekstraterritorial. Hal ini termaktub dalam pasal 2 UU ITE. UU ITE berlaku untuk
setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam UU
ITE ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah
hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau
di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Dengan
demikian, perbuatan hukum yang dilakukan baik oleh WNI maupun WNA di luar
wilayah Indonesia; atau baik oleh badan hukum Indonesia maupun badan hukum
asing, sepanjang memiliki akibat hukum di Indonesia, dapat ditindak sesuai
dengan UU ITE.
2.
Pasal
3
“Pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas
kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih
teknologi atau netral teknologi.”
Analisis
:
·
“Asas kepastian hukum” berarti landasan
hukum bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik serta
segala sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan
hukum di dalam dan di luar pengadilan.
·
“Asas
manfaat” berarti asas
bagi pemanfaatan Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik diupayakan untuk
mendukung proses berinformasi
sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
·
“Asas
kehati-hatian” berarti landasan
bagi pihak yang
bersangkutan harus memperhatikan
segenap aspek yang berpotensi
mendatangkan kerugian, baik
bagi dirinya maupun
bagi pihak lain
dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
·
“Asas
iktikad baik” berarti
asas yang digunakan
para pihak dalam
melakukan Transaksi Elektronik tidak bertujuan
untuk secara sengaja
dan tanpa hak
atau melawan hukum
mengakibatkan kerugian bagi pihak
lain tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut.
·
“Asas
kebebasan memilih teknologi
atau netral teknologi”
berarti asas pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik tidak terfokus pada
penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti perkembangan pada masa
yang akan datang.
Pada
pelaksanaannya, pasal 3 di atas masih sangat banyak penyimpangan atau
penyalahgunaan dalam penggunaannya. Bisa dilihat dari banyaknya kasus para
pengguna jejaring sosial yang berurusan dengan hukum, disebabkan adanya
pelanggaran dalam pemanfaatannya yang merugikan pihak lain. Hal itu berarti
bahwa masyarakat tidak sepenuhnya memahami isi dari pasal tersebut, hanya
sebatas mengetahui saja. Terutama bagi masyarakat awam, yang harus menyesuaikan
dirinya dengan perubahan jaman yang semakin mengutamakan teknologi ini. Mereka
seolah-olah hanya mengikuti “permainan” teknologi, tanpa mengetahui aturan yang
berlaku sehingga menyebabkan masih banyaknya kasus-kasus pelanggaran terhadap
UU ITE pasal 3.
3.
Pasal
4
Pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:
a. mencerdaskan
kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
b. mengembangkan perdagangan
dan perekonomian nasional
dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat;
c. meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. membuka kesempatan
seluas-luasnya kepada setiap
orang untuk memajukan
pemikiran dan kemampuan di bidang
penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan
bertanggung jawab; dan
e. mememberikan rasa
aman, keadilan, dan
kepastian hukum bagi pengguna dan
penyelenggara Teknologi Informasi.
Dilihat
dari semakin berkembangnya teknologi, menyebabkan segala sesuatu menjadi mudah
bagi manusia. Untuk mampu mengimbangi perkembangan teknologi tersebut, maka
diperlukan juga adanya pengetahuan dan pemahaman yang sesuai, sehingga dalam
penggunaannya tidak menjadi suatu hal yang dapat menyebabkan kerusakan moral.
Berdasarkan
poin-poin dari pasal 4 di atas, dengan adanya perkembangan ITE ini diharapkan
bisa lebih mencerdaskan kehidupan masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena
saat ini, informasi yang terjadi di penjuru dunia manapun dapat diakses dengan
mudah. Sehingga dengan kemudahan tersebut bisa semakin mendorong keingin tahuan
masyarakat tentang segala hal, terutama hal yang bersifat baru. Selain itu,
dengan adanya ITE ini dapat dijadikan sarana bagi masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraannya melalui usaha-usaha berbasis elektronik (e-Commerce), serta
membantu terjaminnya pelayanan publik dengan baik. Tetapi, semua hal tersebut
harus dapat dimanfaatkan sebaik mungkin dan bertanggung jawab, sehingga tidak
menimbulkan kerugian baik bagi diri maupun orang lain.
Jika
dilihat kenyataan saat ini, sebenarnya masyarakat cenderung tidak sedikit yang
menyalahgunakan atau menyimpang dari pasal 4 tersebut. Hal tersebut dapat
terjadi karena berbagai hal, misalnya karena pengetahuan atau pemahaman yang
kurang mengenai bagaimana pemanfaatan ITE yang baik dan benar. Selain itu,
masyarakat juga terutama dalam hal ini masyarakat yang masih awam dengan dunia
ITE, mereka seolah-olah hanya mengikuti arus teknologi saja tanpa mengetahui
informasi mana yang pantas untuk diterima. Hal tersebut pada akhirnya akan
sangat memnyimpang jauh dari tujuan yang ingin dicapai. Misalnya saja, tidak
sedikit masyarakat yang menggunakan ITE ini untuk mengakses hal-hal yang
bersifat pornografi, pencemaran nama baik, dan lain sebagainya. Jika hal
tersebut terus terjadi, maka hasil yang akan didapatkan bukanlah kecerdasan
bangsa, tetapi kemerosotan moral bangsa.
4.
Pasal
27
Pasal
27 ayat: (1) ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
(2)
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau
membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
(3)
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik
yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4)
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan
pemerasan dan/atau pengancaman.
Pasal
28 ayat (2) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi
yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).”
Atas
pelanggaran pasal-pasal tersebut, UU ITE memberikan sanksi yang cukup berat
sebagaimana di atur dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2). Pasal 45 ayat (1)
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 45 ayat (2) “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 45 ayat (2) “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Ketentuan 27 ayat
3 dan Pasal 45
Ayat 1 UU
ITE tidak terdapat definisi secara
jelas, misalnya apa yang dimaksud
dengan penghinaan atau pencemaran nama
baik, apa yang menjadi standar atau batasan atau syarat bagi masyarakat
bahwa apa yang dilakukannya tidak termasuk dalam penghinaan atau pencemaran
nama baik. Pada Ayat 3 pasal 27
tersebut benar-benar sudah tidak dipandang adanya kebebasan berpendapat.
Sebagai contoh kasus Prita Mulyasari yang menulis keluhan atas pelayanan Rumah
Sakit Omni yang tidak memuaskan melalui milis, surat pembaca, serta media
publikasi internet lain yang membuat Prita harus mendekam sebagai tahanan
selama dua puluh hari. Dengan adanya ayat ini, kebebasan berpendapat di
internet seakan-akan seperti dikekang. Padahal bukankah itu suatu hal yang
wajar, dan bisa dijadikan pelajaran bagi orang lain untuk mengetahui kualitas
suatu tempat.
Pada pasal 27
tentang perbuatan yang dilarang yaitu pada pasal 1 dan 2 muatan yang melanggar
kesusilaan dan muatan perjudian disana tidak dijelaskan bagaimana standar
kesusilaan dan definisi suatu perjudian tersebut. Bahkan dalam satu rumah tangga
sekalipun, antara suami istri bisa memiliki standar kesusilaan yang berbeda,
bagaimana pula dalam satu negara? Bagaimana kalau terdapat perbedaan mencolok
antara standar kesusilaan pengirim dan penerima? Ini juga bisa
membuat sulit dan was-was masyarakat dalam menggunakan internet takut dianggap
melanggar undang- undang akibatnya masyarakat menjadi agak dipersempit ruang
geraknya dan dapat juga menghambat kreatifitas. Terlihat
bahwa ternyata yang berusaha dilindungi oleh UU ini juga dianggap sebagai
bagian yang perlu direvisi. Beberapa pihak, khususnya kolumnis, blogger, dan
sejenisnya merasa bahwa pasal tersebut mengancam kebebasan berpendapat dan
berekspresi. Bahkan sebelum disetujui, pasal 27 ayat 3 ini dipermasalahkan juga
oleh Dewan Pers diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Meski
memang sudah dilahirkan UU yang mengatur mengenai kejahatan dunia maya. Namun
pada umumnya belum mampu membatasi setiap tingkah laku masyarakat dalam
menggunakan manfaat dunia maya. Cybercrime law mau tidak mau harus
tetap mengikuti langkah kejahatan dunia maya satu langkah dibelakang.
Perubahan-perubahan radikal yang dibawa oleh revolusi teknologi informasi harus
dibatasi dan dihentikan dengan ketentuan hukum yang memadai di dunia maya.
Mengingat teknologi informasi dalam waktu yang singkat dapat berkembang dengan
cepat. Padahal ”etika keilmuan dimaksudkan untuk menjunjung tinggi keilmuan
nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu
menjaga harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai
kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya”. Maka
selain menciptakan UU dan memaksimalkan fungsi aparat hukum, sumber daya
manusia (SDM) yang memiliki kemampuan dibidang teknologi informasi. Untuk
menjaga ketahanan dan keamanan dari ancaman cybercrime baik dari
Indonesia sendiri maupun dari luar negeri. Selain itu kesadaran masyarakat
menjadi poin yang sangat penting dalam meminimalisir cybercrime.
Mungkin masih ada kelemahan lain yang
terluput namun intinya, kelemahan-kelemahan ini bisa ada karena tidak
dilibatkannya masyarakat pengguna teknologi informasi secara meluas dalam penyusunan
UU ITE ini, yang mana diharapkan kesalahan ini tidak terulang lagi di kemudian
hari demi tercapainya kemajuan bersama yang diharapkan sebagai tujuan
penyusunan UU ITE.
Dafatr Pustaka :
https://angelinasinaga.wordpress.com/2013/05/31/analisa-undang-undang-nomor-11-tahun-2008-tentang-informasi-dan-transaksi-elektronik/
http://goleklayangan.blog.uns.ac.id/2010/11/28/kelemahan-dan-saran-undang-undang-nomor-11-tahun-2008-tentang-informasi-dan-transaksi-elektronik/
http://www.kompasiana.com/amhaerlambang/analisis-uu-no-11-tahun-2008-tentang-informasi-dan-transaksi-elektronik-dan-uu-no-19-tahun-2002-tentang-hak-cipta_54f783dfa333111e738b45f4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar