Rabu, 07 Oktober 2015

Cyber Media : Analisi UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik



Mata Kuliah Cyber Media
ANALISIS PASAL
DALAM
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK


Disusun Oleh :
Tina Apriliana             132050044

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Ilmu Komunikasi-A
UNIVERSITAS PASUNDAN
2015

UU ITE yang diberlakukan sejak April 2008 lalu ini memang merupakan terobosan bagi dunia hukum di Indonesia, karena untuk pertama kalinya dunia maya di Indonesia mempunyai perangkat. Karena sifatnya yang berisi aturan main di dunia maya, UU ITE ini juga dikenal sebagai Cyber Law. Sebagaimana layaknya Cyber Law di negara-negara lain, UU ITE ini juga bersifat ekstraterritorial. Cyber Law merupakan suatu sistem hukum yang dianggap relevan untuk mengatur aktivitas e-Commerce, mengingat sifat-sifat dari e-Commerce yang tidak dapat diatur dengan menggunakan hukum konvensional.
UU ITE yang terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal mencakup materi mengenai Informasi dan Dokumen Elektronik; Pengiriman dan Penerimaan Surat Elektronik; Tanda Tangan Elektronik; Sertifikat Elektronik; Penyelenggaraan Sistem Elektronik; Transaksi Elektronik; Hak Atas kekayaan Intelektual; dan Perlindungan Data Pribadi atau Privasi.
Dan dalam perkembangannya, UU ITE yang rancangannya sudah masuk dalam agenda DPR sejak hampir sepuluh tahun yang lalu, terus mengalami penambahan disana-sini, termasuk perlindungan dari serangan hacker, pelarangan penayangan content yang memuat unsur-unsur pornografi, pelanggaran kesusilaan, pencemaran nama baik, penghinaan dan lain sebagainya. Terdapat sekitar 11 pasal yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam UU ITE, yang mencakup hampir 22 jenis perbuatan yang dilarang. Dari 11 Pasal tersebut ada 3 pasal yang dicurigai akan membahayakan blogger, pasal-pasal yang mengatur larangan-larangan tertentu di dunia maya, yang bisa saja dilakukan oleh seorang blogger tanpa dia sadari. Pasal-Pasal tersebut adalah Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2), serta Pasal 45 ayat (1) dan (2).
Analisis Pasal
1.        Pasal 2
“Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di  luar  wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di  luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.”
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa UU ITE ini menganut asas ekstraterritorial. Hal ini termaktub dalam pasal 2 UU ITE. UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam UU ITE ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Dengan demikian, perbuatan hukum yang dilakukan baik oleh WNI maupun WNA di luar wilayah Indonesia; atau baik oleh badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing, sepanjang memiliki akibat hukum di Indonesia, dapat ditindak sesuai dengan UU ITE.
2.             Pasal 3
“Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.”
Analisis :
·           “Asas kepastian hukum” berarti landasan hukum bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik serta segala sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
·           “Asas  manfaat”  berarti  asas  bagi  pemanfaatan  Teknologi  Informasi  dan  Transaksi Elektronik diupayakan  untuk  mendukung  proses  berinformasi  sehingga  dapat  meningkatkan  kesejahteraan masyarakat.
·           “Asas  kehati-hatian”  berarti  landasan  bagi  pihak  yang  bersangkutan  harus  memperhatikan  segenap aspek  yang  berpotensi  mendatangkan  kerugian,  baik  bagi  dirinya  maupun  bagi  pihak  lain  dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
·           “Asas  iktikad  baik”  berarti  asas  yang  digunakan  para  pihak  dalam  melakukan  Transaksi  Elektronik tidak  bertujuan  untuk  secara  sengaja  dan  tanpa  hak  atau  melawan  hukum  mengakibatkan  kerugian bagi pihak lain tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut.
·           “Asas  kebebasan  memilih  teknologi  atau  netral  teknologi”  berarti  asas  pemanfaatan  Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik tidak terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti perkembangan pada masa yang akan datang.
Pada pelaksanaannya, pasal 3 di atas masih sangat banyak penyimpangan atau penyalahgunaan dalam penggunaannya. Bisa dilihat dari banyaknya kasus para pengguna jejaring sosial yang berurusan dengan hukum, disebabkan adanya pelanggaran dalam pemanfaatannya yang merugikan pihak lain. Hal itu berarti bahwa masyarakat tidak sepenuhnya memahami isi dari pasal tersebut, hanya sebatas mengetahui saja. Terutama bagi masyarakat awam, yang harus menyesuaikan dirinya dengan perubahan jaman yang semakin mengutamakan teknologi ini. Mereka seolah-olah hanya mengikuti “permainan” teknologi, tanpa mengetahui aturan yang berlaku sehingga menyebabkan masih banyaknya kasus-kasus pelanggaran terhadap UU ITE pasal 3.
3.             Pasal 4
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:
a.       mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
b.      mengembangkan  perdagangan  dan  perekonomian  nasional  dalam  rangka  meningkatkan  kesejahteraan masyarakat;
c.       meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d.      membuka  kesempatan  seluas-luasnya  kepada  setiap  orang  untuk  memajukan  pemikiran  dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan
e.       mememberikan  rasa  aman,  keadilan,  dan  kepastian  hukum  bagi  pengguna  dan  penyelenggara Teknologi Informasi.
Dilihat dari semakin berkembangnya teknologi, menyebabkan segala sesuatu menjadi mudah bagi manusia. Untuk mampu mengimbangi perkembangan teknologi tersebut, maka diperlukan juga adanya pengetahuan dan pemahaman yang sesuai, sehingga dalam penggunaannya tidak menjadi suatu hal yang dapat menyebabkan kerusakan moral.
Berdasarkan poin-poin dari pasal 4 di atas, dengan adanya perkembangan ITE ini diharapkan bisa lebih mencerdaskan kehidupan masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena saat ini, informasi yang terjadi di penjuru dunia manapun dapat diakses dengan mudah. Sehingga dengan kemudahan tersebut bisa semakin mendorong keingin tahuan masyarakat tentang segala hal, terutama hal yang bersifat baru. Selain itu, dengan adanya ITE ini dapat dijadikan sarana bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui usaha-usaha berbasis elektronik (e-Commerce), serta membantu terjaminnya pelayanan publik dengan baik. Tetapi, semua hal tersebut harus dapat dimanfaatkan sebaik mungkin dan bertanggung jawab, sehingga tidak menimbulkan kerugian baik bagi diri maupun orang lain.
            Jika dilihat kenyataan saat ini, sebenarnya masyarakat cenderung tidak sedikit yang menyalahgunakan atau menyimpang dari pasal 4 tersebut. Hal tersebut dapat terjadi karena berbagai hal, misalnya karena pengetahuan atau pemahaman yang kurang mengenai bagaimana pemanfaatan ITE yang baik dan benar. Selain itu, masyarakat juga terutama dalam hal ini masyarakat yang masih awam dengan dunia ITE, mereka seolah-olah hanya mengikuti arus teknologi saja tanpa mengetahui informasi mana yang pantas untuk diterima. Hal tersebut pada akhirnya akan sangat memnyimpang jauh dari tujuan yang ingin dicapai. Misalnya saja, tidak sedikit masyarakat yang menggunakan ITE ini untuk mengakses hal-hal yang bersifat pornografi, pencemaran nama baik, dan lain sebagainya. Jika hal tersebut terus terjadi, maka hasil yang akan didapatkan bukanlah kecerdasan bangsa, tetapi kemerosotan moral bangsa. 

4.             Pasal 27
Pasal 27 ayat: (1) ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
(2) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan  dan/atau  membuat  dapat  diaksesnya  Informasi  Elektronik  dan/atau  Dokumen  Elektronik  yang memiliki muatan perjudian.
(3) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau  membuat  dapat  diaksesnya  Informasi  Elektronik  dan/atau  Dokumen  Elektronik  yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau  mentransmisikan dan/atau  membuat  dapat  diaksesnya  Informasi  Elektronik  dan/atau  Dokumen  Elektronik  yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Pasal 28 ayat (2) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Atas pelanggaran pasal-pasal tersebut, UU ITE memberikan sanksi yang cukup berat sebagaimana di atur dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2). Pasal 45 ayat (1)
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 45 ayat (2) “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Ketentuan  27  ayat  3  dan Pasal  45  Ayat  1  UU  ITE  tidak  terdapat definisi  secara  jelas, misalnya apa yang dimaksud  dengan  penghinaan  atau pencemaran  nama  baik, apa yang menjadi standar atau batasan atau syarat bagi masyarakat bahwa apa yang dilakukannya tidak termasuk dalam penghinaan atau pencemaran nama baik. Pada Ayat 3 pasal 27 tersebut benar-benar sudah tidak dipandang adanya kebebasan berpendapat. Sebagai contoh kasus Prita Mulyasari yang menulis keluhan atas pelayanan Rumah Sakit Omni yang tidak memuaskan melalui milis, surat pembaca, serta media publikasi internet lain yang membuat Prita harus mendekam sebagai tahanan selama dua puluh hari. Dengan adanya ayat ini, kebebasan berpendapat di internet seakan-akan seperti dikekang. Padahal bukankah itu suatu hal yang wajar, dan bisa dijadikan pelajaran bagi orang lain untuk mengetahui kualitas suatu tempat.
Pada pasal 27 tentang perbuatan yang dilarang yaitu pada pasal 1 dan 2 muatan yang melanggar kesusilaan dan muatan perjudian disana tidak dijelaskan bagaimana standar kesusilaan dan definisi suatu perjudian tersebut. Bahkan dalam satu rumah tangga sekalipun, antara suami istri bisa memiliki standar kesusilaan yang berbeda, bagaimana pula dalam satu negara? Bagaimana kalau terdapat perbedaan mencolok antara standar kesusilaan pengirim dan penerima? Ini juga bisa membuat sulit dan was-was masyarakat dalam menggunakan internet takut dianggap melanggar undang- undang akibatnya masyarakat menjadi agak dipersempit ruang geraknya dan dapat juga menghambat kreatifitas. Terlihat bahwa ternyata yang berusaha dilindungi oleh UU ini juga dianggap sebagai bagian yang perlu direvisi. Beberapa pihak, khususnya kolumnis, blogger, dan sejenisnya merasa bahwa pasal tersebut mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Bahkan sebelum disetujui, pasal 27 ayat 3 ini dipermasalahkan juga oleh Dewan Pers diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Meski memang sudah dilahirkan UU yang mengatur mengenai kejahatan dunia maya. Namun pada umumnya belum mampu membatasi setiap tingkah laku masyarakat dalam menggunakan manfaat dunia maya. Cybercrime law mau tidak mau harus tetap mengikuti langkah kejahatan dunia maya satu langkah dibelakang. Perubahan-perubahan radikal yang dibawa oleh revolusi teknologi informasi harus dibatasi dan dihentikan dengan ketentuan hukum yang memadai di dunia maya. Mengingat teknologi informasi dalam waktu yang singkat dapat berkembang dengan cepat. Padahal ”etika keilmuan dimaksudkan untuk menjunjung tinggi keilmuan nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya”. Maka selain menciptakan UU dan memaksimalkan fungsi aparat hukum, sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan dibidang teknologi informasi.  Untuk menjaga ketahanan dan keamanan dari ancaman cybercrime baik dari Indonesia sendiri maupun dari luar negeri. Selain itu kesadaran masyarakat menjadi poin yang sangat penting dalam meminimalisir cybercrime.
Mungkin masih ada kelemahan lain yang terluput namun intinya, kelemahan-kelemahan ini bisa ada karena tidak dilibatkannya masyarakat pengguna teknologi informasi secara meluas dalam penyusunan UU ITE ini, yang mana diharapkan kesalahan ini tidak terulang lagi di kemudian hari demi tercapainya kemajuan bersama yang diharapkan sebagai tujuan penyusunan UU ITE.

Dafatr Pustaka :
https://angelinasinaga.wordpress.com/2013/05/31/analisa-undang-undang-nomor-11-tahun-2008-tentang-informasi-dan-transaksi-elektronik/
http://goleklayangan.blog.uns.ac.id/2010/11/28/kelemahan-dan-saran-undang-undang-nomor-11-tahun-2008-tentang-informasi-dan-transaksi-elektronik/
http://www.kompasiana.com/amhaerlambang/analisis-uu-no-11-tahun-2008-tentang-informasi-dan-transaksi-elektronik-dan-uu-no-19-tahun-2002-tentang-hak-cipta_54f783dfa333111e738b45f4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar